Selasa, 26 Januari 2010

Takut: Buah dari Belajar???


Ada suatu pertanyaan yang menggelitik saat ini dalam pikiran saya, kapan Allah memberikan rasa takut kepada manusia? Sejak lahirkah? Atau setelah kita berusia berapa bulan atau bahkan tahun mungkin? Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan itu karena sebagai manusia tidak pernah ingat kapan kita lahir, seperti apa kita lahir, apa yang kita lihat ketika kita lahir ke dunia, bahkan sebagai manusia kejadian yang beberapa detik yang lalu telah lewat pun kita sudah lupa.
Rasa takut itu diciptakan. Diciptakan oleh Allah itu suatu hal yang pasti. Saya yakin setiap orang memiliki rasa takut, bahkan seorang bayi yang baru lahir pun. Seorang bayi kadangkala menangis ketika beralih dari pangkuan ibu atau ayahnya ke pangkuan orang lain karena merasa takut dengan orang yang belum dia kenal. Tangisan bayi atupun rasa gelisah dari seorang bayi menandakan bahwa dia merasa takut karena biasanya ketika sudah didekap ataupun digendong oleh sang ibu perlahan-lahan tangisnya akan reda. Dari ini, ada suatu dugaan bahwa takut telah ada ketika manusia mulai terlahir di dunia. Pertanyaannya sekarang bergeser menjadi kalau memang rasa takut itu ada pada diri manusia sejak dia lahir, akankah sama antara rasa takut seorang bayi dengan orang dewasa?
Jika dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin bayi adalah fase saat ketakutan dalam diri manusia ada pada titik yang terendah. Saat –saat bayi adalah saat paling optimis dalam hidup ini. Kenapa tidak? Bayi lebih berani untuk memegang pisau pada sisi yang tajamnya dibanding diri kita. Bayi lebih berani dibandingkan diri kita untuk memegan api atau bahkan bara api yang menyala. Bayi adalah sosok yang paling optimistis dalam diri kita yang tidak pernah menyerah untuk berusaha walaupun sudah berulang kali gagal. Tidak ada bayi yang menyerah sebelum melangkah untuk belajar berjalan meskipun akhirnya terjatuh dan terbentur. Dalam posisi kita, mungkin bisa dibayangkan kalau diri kita belum bisa menaiki sepeda atau sepeda motor dan kita diajari untuk mengendarainya. Kita mungkin sudah membayangkan bagaimana kalau kita terjatuh dan terluka. Bayi tidak pernah memiliki perasaan itu. Hanya saja kalau memang terjatuh dan terasa sakit maka dia akan menangis. Hal ini membuktikan bahwa kita sebagai seorang manusia dewasa jauh lebih memiliki rasa takut dibandingkan dengan bayi. Bayi tidak pernah mempertimbangkan suatu resiko yang akan timbul ketika ia melakukan sesuatu termasuk ketika bermain pisau.
Setelah diberitahu bahwa api itu panas, pisau itu tajam atau bahkan mungkin merasakannya, manusia akan mengetahuinya dan mencoba untuk menghidari terkena api ataupun terkena tajamnya pisau. Hal ini merupakan salah satu bentuk belajar. Dan output yang dihasilkan berupa kewaspadaan. Berbicara mengenai kewaspadaan erat kaitannya pula dengan rasa takut. Orang menghindari bermain-main dengan api karena ada suatu rasa takut terbakar ketika ceroboh. Orang cenderung menghindari sesuatu karena berpikir ada suatu resiko dan ada rasa takut pada dirinya.
Dengan demikian, input informasi yang masuk ke dalam pikiran kita akan memberikan suatu persepsi dalam pikiran kita mengenai hal itu. Misalkan, kita diberi tahu bahwa ketika tangan kita menyentuh api, kita akan merasakan panas. Dalam pikiran kita akan terbayang rasa panas dan tersimpan dalam memori kita bahwa kalau kita menyentuhnya akan merasakan panas. Akhirnya persepsi inilah yang kemudian memunculkan rasa takut.
Hal yang nyata pula, semakin dewasa diri kita, maka akan semakin mawas dalam memandang sesuatu. Kita akan semakin hati-hati dalam bertindak apalagi ketika ada suatu pengalaman yang buruk mengenai hal tersebut. Mungkin pernah suatu ketika kita mengalami pengalaman buruk yang akan sangat terekam dalam pikiran kita hingga ketika kita suatu informasi mengenai hal itu atau bahkan hanya dengan mencium bau yang sama dengan saat kejadian itu terjadi, otak kita kaan merekam ulang peristiwa itu. Rekaman ini akan menimbulkan rasa takut yang akhirnya membuat kita lebih berhati-hati.

Dengan semakin banyak informasi ataupun pengetahuan dalam diri kita, maka semakin mudah kita untuk merasa takut, semakin mawas diri, semakin hati-hati dalam bertindak.
Lalu apa gunanya rasa takut? Secara sederhana, takut diciptakan dalam diri manusia agar manusia lebih berhati-hati. Namun jika ditelaah lebih lanjut, takut tampaknya diciptakan oleh Allah agar manusia bisa lebih mengerti hidup dan dirinya serta menuntut manusia untuk senantiasa belajar.. Takut itu timbul dari belajar. Ketika kita lebih mendalam agama melalui kita suci atau dari manapun sumber itu kita peroleh, kita akan semakin tahu siapa diri kita sebenarnya yang akhrinya kita pun akan taku jika melakukan suatu kesalahan/ perbuatan dosa. Semakin takut bahwa Allah kelak akan menghukum kita di hari akhir karena kesalahan-kesalahan yang kita perbuat selama di dunia. Namun rasa takut saja tidak cukup, manusia perlu belajar kembali. Belajar untuk dapat memecahkan persoalan yang ia takuti, belajar bagaimana caranya untuk bisa terhindar dari kesalahan, meskipun tetap saja ada celah untuk timbulnya kesalahan. Namun dengan rasa takut itu akan muncul dalam diri kita upaya untuk belajar dan bertindak lebih baik. Akhirnya takut dan belajar akan menjadi berpola seperti lingkaran, belajar sendiri akan membuat kita memiliki rasa takut yang kemudian tertuang dalam tindakan kita dan kemudian rasa takut akan kesalahan yang mungkin muncul akan membuat kita belajar kembali untuk lebih baik. Bukankah salah satu karakter dari orang beriman adalah takut pada Allah dan salah satu cirri dari orang beriman pula adalah mereka selalu belajar.
Mungkin dua ayat berikut ini bagus untuk kita renungkan”… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..” (Q.S. Fathir: 28)
"orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran," (Q.S. Al-A'laa: 10)