Senin, 31 Mei 2010

Kenangan itu apakah hanya untuk dikenang?


Ditemani oleh lagu “Ku ingin Selamanya” dari Ungu, saya coba flash back mengingat setahun yang lalu ketika harus begadang dan berkerut kening membuat draft untuk seminar dan menganalisisnya. Setahun yang lalu, sungguh suatu kenangan yang tak akan terlupakan. Merasakan atmosfer seminar yang membuat deg-degan dari seminggu sebelumnya. Bahkan, kadangkala cerita dari angkatan sebelumnya tentang sidang ikut menghantui. Tapi bagaimanapun juga, saya merasa itu adalah satu episode hidup yang harus dilalui. Dengan segala keterbatasan, akhirnya proyek besar pribadi dalam hidup ini selesai. Banyak hal yang belum sempurna. Namun bagaimana pun juga, hasrat untuk lulus bulan Juli jauh lebih tinggi. Sehingga dengan hasil penelitian, yang menurut saya sendiri jauh dari sempurna, saya ikut seminar dan siding. Akhirnya lulus juga, Alhamdulillah dengan satu predikat yang membanggakan.

Bukan hanya tentang proyek tugas akhir, saya coba mengingat hal yang lain. Ada tulisan Fakhria yang ditulis sebelum pergi ke Jepang yang membuat saya melayangkan pandangan pada setahun yang lalu. Ingin menangis juga rasanya. Tergabung dalam dua kelompok penelitian yang dahsyat, dengan rekan-rekan kerja yang inspiratif, terimakasih untuk Uta dan Ipin serta pak Kusnandar di proyek stroke, serta Nadia, Fakhria, Laras, dan Dew2 di tim Monaskus, membuat saya merasa sibuk namun tidak merasakan kelelahan. You all great partner team!!!. Masih ingat dalam benak saya bagaimana harus bisa membagi-bagi otak antara membuat laporan penelitian untuk kedua ajang lomba yang kami ikuti dengan draft seminar serta harus menyiapkan sidang. Namun Alhamdulillah berkat jalan dari ALLAH, semuanya ditutup dengan rasa puas dan kebahagiaan. Tidak hanya lulus tepat waktu, namun juga dapat mengiringi tim monascus mendapatkan salah satu juara di lomba riset internal ITB dan PIMNAS.

Ini merupakan beberapa kenangan yang akan senantiasa terekam dalam otak saya, dengan izin ALLAH jika tidak terkena demensia. Banyak kenangan manis lain yang tidak bisa diuraikan semuanya. Semua kenangan manis yang kadangkala harus didahului oleh kenangan-kenangan pahit. Rasa senang sering kali muncul ditambah dengan rasa haru ketika mengenang hal itu. Ingin rasanya seperti itu lagi. Tapi saya harus sadar, saya tidak hidup dalam masa lalu. Saya tidak hidup untuk kenangan yang telah berlalu. Saya hidup di masa sekarang. Semua yang ada pada detik inilah yang harus dilalui.

Kenangan kadangkala menjebak kita dalam kejayaan masa lalu dan membuat malas untuk bergerak karena sudah merasa senang dan bangga. Namun hal yang paling penting adalah bagaimana membuat kenangan manis denga apa yang telah kita torehkan itu menjadi cambuk untuk lebih maju memberikan hal yang lebih baik untuk umat. Membuat suatu kontribusi yang nyata di masa kini, itulah yang harus dilakukan. Mungkin itu juga yang harus dipahami oleh bangsa Indonesia. Mengingat kejayaan masa lalu ketika Sriwijaya dan Majapahit atau saat Indonesia menjadi macan asia. Bukan untuk membuat kita terlena namun untuk mengambil hikmah dan pelajaran agar kita segera bangkit. Bangkit untuk kembali maju menjadi bangsa yang dipandang oleh bangsa yang lain dan menjadi bangsa yang bermartabat di hadapan ALLAH. Kenangan itu bukan hanya untuk dikenang, namun untuk membuat kita lebih kencang memicu diri menjadi lebih baik dengan semua yang dapat kita berikan.

Selasa, 26 Januari 2010

Takut: Buah dari Belajar???


Ada suatu pertanyaan yang menggelitik saat ini dalam pikiran saya, kapan Allah memberikan rasa takut kepada manusia? Sejak lahirkah? Atau setelah kita berusia berapa bulan atau bahkan tahun mungkin? Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan itu karena sebagai manusia tidak pernah ingat kapan kita lahir, seperti apa kita lahir, apa yang kita lihat ketika kita lahir ke dunia, bahkan sebagai manusia kejadian yang beberapa detik yang lalu telah lewat pun kita sudah lupa.
Rasa takut itu diciptakan. Diciptakan oleh Allah itu suatu hal yang pasti. Saya yakin setiap orang memiliki rasa takut, bahkan seorang bayi yang baru lahir pun. Seorang bayi kadangkala menangis ketika beralih dari pangkuan ibu atau ayahnya ke pangkuan orang lain karena merasa takut dengan orang yang belum dia kenal. Tangisan bayi atupun rasa gelisah dari seorang bayi menandakan bahwa dia merasa takut karena biasanya ketika sudah didekap ataupun digendong oleh sang ibu perlahan-lahan tangisnya akan reda. Dari ini, ada suatu dugaan bahwa takut telah ada ketika manusia mulai terlahir di dunia. Pertanyaannya sekarang bergeser menjadi kalau memang rasa takut itu ada pada diri manusia sejak dia lahir, akankah sama antara rasa takut seorang bayi dengan orang dewasa?
Jika dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin bayi adalah fase saat ketakutan dalam diri manusia ada pada titik yang terendah. Saat –saat bayi adalah saat paling optimis dalam hidup ini. Kenapa tidak? Bayi lebih berani untuk memegang pisau pada sisi yang tajamnya dibanding diri kita. Bayi lebih berani dibandingkan diri kita untuk memegan api atau bahkan bara api yang menyala. Bayi adalah sosok yang paling optimistis dalam diri kita yang tidak pernah menyerah untuk berusaha walaupun sudah berulang kali gagal. Tidak ada bayi yang menyerah sebelum melangkah untuk belajar berjalan meskipun akhirnya terjatuh dan terbentur. Dalam posisi kita, mungkin bisa dibayangkan kalau diri kita belum bisa menaiki sepeda atau sepeda motor dan kita diajari untuk mengendarainya. Kita mungkin sudah membayangkan bagaimana kalau kita terjatuh dan terluka. Bayi tidak pernah memiliki perasaan itu. Hanya saja kalau memang terjatuh dan terasa sakit maka dia akan menangis. Hal ini membuktikan bahwa kita sebagai seorang manusia dewasa jauh lebih memiliki rasa takut dibandingkan dengan bayi. Bayi tidak pernah mempertimbangkan suatu resiko yang akan timbul ketika ia melakukan sesuatu termasuk ketika bermain pisau.
Setelah diberitahu bahwa api itu panas, pisau itu tajam atau bahkan mungkin merasakannya, manusia akan mengetahuinya dan mencoba untuk menghidari terkena api ataupun terkena tajamnya pisau. Hal ini merupakan salah satu bentuk belajar. Dan output yang dihasilkan berupa kewaspadaan. Berbicara mengenai kewaspadaan erat kaitannya pula dengan rasa takut. Orang menghindari bermain-main dengan api karena ada suatu rasa takut terbakar ketika ceroboh. Orang cenderung menghindari sesuatu karena berpikir ada suatu resiko dan ada rasa takut pada dirinya.
Dengan demikian, input informasi yang masuk ke dalam pikiran kita akan memberikan suatu persepsi dalam pikiran kita mengenai hal itu. Misalkan, kita diberi tahu bahwa ketika tangan kita menyentuh api, kita akan merasakan panas. Dalam pikiran kita akan terbayang rasa panas dan tersimpan dalam memori kita bahwa kalau kita menyentuhnya akan merasakan panas. Akhirnya persepsi inilah yang kemudian memunculkan rasa takut.
Hal yang nyata pula, semakin dewasa diri kita, maka akan semakin mawas dalam memandang sesuatu. Kita akan semakin hati-hati dalam bertindak apalagi ketika ada suatu pengalaman yang buruk mengenai hal tersebut. Mungkin pernah suatu ketika kita mengalami pengalaman buruk yang akan sangat terekam dalam pikiran kita hingga ketika kita suatu informasi mengenai hal itu atau bahkan hanya dengan mencium bau yang sama dengan saat kejadian itu terjadi, otak kita kaan merekam ulang peristiwa itu. Rekaman ini akan menimbulkan rasa takut yang akhirnya membuat kita lebih berhati-hati.

Dengan semakin banyak informasi ataupun pengetahuan dalam diri kita, maka semakin mudah kita untuk merasa takut, semakin mawas diri, semakin hati-hati dalam bertindak.
Lalu apa gunanya rasa takut? Secara sederhana, takut diciptakan dalam diri manusia agar manusia lebih berhati-hati. Namun jika ditelaah lebih lanjut, takut tampaknya diciptakan oleh Allah agar manusia bisa lebih mengerti hidup dan dirinya serta menuntut manusia untuk senantiasa belajar.. Takut itu timbul dari belajar. Ketika kita lebih mendalam agama melalui kita suci atau dari manapun sumber itu kita peroleh, kita akan semakin tahu siapa diri kita sebenarnya yang akhrinya kita pun akan taku jika melakukan suatu kesalahan/ perbuatan dosa. Semakin takut bahwa Allah kelak akan menghukum kita di hari akhir karena kesalahan-kesalahan yang kita perbuat selama di dunia. Namun rasa takut saja tidak cukup, manusia perlu belajar kembali. Belajar untuk dapat memecahkan persoalan yang ia takuti, belajar bagaimana caranya untuk bisa terhindar dari kesalahan, meskipun tetap saja ada celah untuk timbulnya kesalahan. Namun dengan rasa takut itu akan muncul dalam diri kita upaya untuk belajar dan bertindak lebih baik. Akhirnya takut dan belajar akan menjadi berpola seperti lingkaran, belajar sendiri akan membuat kita memiliki rasa takut yang kemudian tertuang dalam tindakan kita dan kemudian rasa takut akan kesalahan yang mungkin muncul akan membuat kita belajar kembali untuk lebih baik. Bukankah salah satu karakter dari orang beriman adalah takut pada Allah dan salah satu cirri dari orang beriman pula adalah mereka selalu belajar.
Mungkin dua ayat berikut ini bagus untuk kita renungkan”… Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama..” (Q.S. Fathir: 28)
"orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran," (Q.S. Al-A'laa: 10)